Korporasi

CSR Tidak Bisa Dianggap Sebagai Implementasi ESG? Begini Pandangan Schroders Indonesia

  • Dibanding CSR, ikhtisar keberlanjutan yang berkaitan dengan aktivitas operasional emiten merupakan aspek yang lebih diutamakan dalam penilaian.
esg-environmental-social-governance-company-development-nature-conservation-strategy_102583-6310.jpg
ESG (https://img.freepik.com/premium-photo/esg-environmental-social-governance-company-development-nature-conservation-strategy_102583-6310.jpg?w=2000)

JAKARTA – Program-program yang berhubungan dengan tanggung jawab sosial korporasi (corporate social responsibility/CSR) kerap kali diusung oleh banyak emiten di Bursa Efek Indonesia (BEI) sebagai bentuk implementasi bisnis yang mengutamakan nilai lingkungan (environmental), sosial (social), dan tata kelola (governance). 

Head of Marketing PT Schroder Investment Management Indonesia (Schroders) Valentina Widyastuti mengatakan bahwa saat pihaknya meninjau kinerja keberlanjutan dari entitas tertentu, CSR hanyalah satu dari sekian bentuk implementasi ESG yang dijadikan bahan peninjauan.

Namun, dibanding CSR, ikhtisar keberlanjutan yang berkaitan dengan aktivitas operasional emiten merupakan aspek yang lebih diutamakan dalam penilaian.

“Aspek yang dilihat itu bisa misalnya berhubungan dengan berapa emisi karbon yang dikeluarkan, berapa banyak energi yang digunakan, dan sebagainya,” ujar Valentina dalam acara media gathering di Kantor Schroders Indonesia, Rabu, 2 November 2022.

Sementara itu, Equity Analyst Schroders Indonesia Aditya Sutandi pun menambahkan, CSR yang diinisiasi oleh suatu emiten memang bisa tercakup sebagai implementasi ESG, namun bukan berarti semua program yang dirancang itu dianggap sudah memenuhi standar yang diharapkan.

Misalnya, program-program CSR yang berhubungan dengan aktivitas penanaman pohon mangrove yang dilakukan beberapa emiten dan dilaporkan sebagai implementasi ESG sebenarnya tidak atau belum bisa dianggap sebagai upaya dalam mendorong ekosistem bisnis yang berkelanjutan.

Pasalnya, penanaman pohon yang dilakukan itu sebenarnya lebih cenderung kepada praktik kedermawanan korporasi kepada masyarakat sekitar. 

Sementara itu, ESG sendiri merupakan prinsip yang harus dipenuhi emiten dalam menjalankan aktivitas bisnisnya.

Oleh karena itulah pihak Schroders sendiri melihat bahwa ikhtisar keberlanjutan yang berkaitan dengan operasional merupakan indikator yang lebih perlu diperhatikan ketimbang menjunjung tinggi program-program CSR dari suatu entitas bisnis.

Sebelumnya, Ekonom dan Co-founder serta Dewan Pakar Institute of Social, Economic, and Digital (ISED) Ryan Kiryanto sempat mengemukakan bahwa CSR itu sebenarnya tidak tepat untuk dianggap sebagai implementasi ESG. 

Bahkan, Ryan mengatakan bahwa laporan keberlanjutan itu isinya bukan lagi berkaitan dengan program CSR perseroan. Pasalnya, CSR itu lebih cenderung kepada aksi filantropis yang dalam perspektif lebih luas, sebenarnya tidak tepat untuk dipandang sebagai implementasi ESG.

“Kalau kita bicara laporan keberlanjutan, itu isinya bukan kegiatan CSR. Kegiatan CSR, tanggung jawab sosial perusahaan itu hanya filantropis, tapi ESG itu lebih dalam lagi penerapannya,” ujar Ryan kepada TrenAsia beberapa waktu lalu.

Intinya, menurut Ryan, penerapan ESG itu berhubungan dengan bagaimana korporasi menerapkan prinsip ramah lingkungan, sosial, dan tata kelola dalam menjalankan aktivitas bisnisnya demi mendorong ekosistem yang berkelanjutan.

Oleh karena itu, jika ESG ini sudah dipandang sebagai kewajiban yang harus dipenuhi, emiten-emiten yang bisnisnya merusak lingkungan seperti polusi tanah, air, udara, dan sebagainya itu tidak bisa lagi dikompromi.

“Mereka juga harus ramah sosial, misalnya untuk bank, mereka harus memberikan toleransi yang baik untuk perempuan dan berpihak kepada kelompok rentan (dalam pembiayaan),” tegas Ryan.