Tren Global

China vs India: Perang Bendungan di Sungai Brahmaputra, Air Jadi Senjata Baru

  • India bangun Upper Siang Dam untuk melawan proyek bendungan raksasa China di Tibet. Namun, penolakan warga Adi di Arunachal Pradesh mengancam kelanjutan proyek, sementara risiko bencana tetap menghantui kawasan Himalaya.
Foto udara suasana Bendungan Semantok di Rejoso, Nganjuk, Jawa Timur
Foto udara suasana Bendungan Semantok di Rejoso, Nganjuk, Jawa Timur (ANTARA FOTO/MUHAMMAD MADA/TOM.) (ANTARA FOTO/MUHAMMAD MADA/TOM)

JAKARTA, TRENASIA.ID – Ketegangan geopolitik antara China dan India kini merambah ke urusan air. Dua raksasa Asia itu tengah berpacu membangun bendungan raksasa di Sungai Brahmaputra—sumber kehidupan penting di kawasan Himalaya—yang berpotensi mengubah keseimbangan lingkungan, sosial, hingga keamanan regional.

China memimpin dengan proyek tenaga air terbesar di dunia senilai US$170 miliar (Rp2.771 triliun) di wilayah Tibet, hanya beberapa kilometer dari perbatasan India. Jika rampung, bendungan ini mampu mengalihkan hingga 40 miliar meter kubik air per tahun, setara sepertiga pasokan tahunan di kawasan perbatasan.

India Balas dengan Upper Siang Dam

New Delhi menilai langkah Beijing sebagai ancaman serius. Proyek tersebut dikhawatirkan dapat berubah menjadi “senjata air” dalam konflik perbatasan, khususnya di Arunachal Pradesh yang status kedaulatannya masih diperdebatkan.

Sebagai antisipasi, India melalui National Hydroelectric Power Corporation (NHPC) menggarap pembangunan Upper Siang Dam, yang ditargetkan menjadi bendungan terbesar di India dengan kapasitas simpan 14 miliar meter kubik air.

Bendungan ini berfungsi menjamin suplai air saat musim kering dan menahan lonjakan debit bila China melepas air secara mendadak. Pemerintah India memperkirakan, proyek ini bisa memangkas risiko kekurangan pasokan air di musim kering dari 25% menjadi hanya 11%. Selain itu, 30% kapasitas bendungan dirancang selalu kosong untuk mengantisipasi limpasan mendadak.

Penolakan Warga Adi dan Konflik Sosial

Namun, ambisi India tidak berjalan mulus. Suku Adi di Arunachal Pradesh menolak keras pembangunan Upper Siang Dam karena berpotensi menenggelamkan 16 desa, merelokasi lebih dari 10.000 orang, dan berdampak ke 100.000 penduduk lainnya.

Protes berujung ricuh: peralatan konstruksi dirusak, jembatan dihancurkan, hingga aparat keamanan diusir dari lokasi. Meski pemerintah negara bagian mendukung proyek dengan alasan keamanan air dan pencegahan banjir, resistensi warga tetap tinggi.

Sebagai upaya meredam konflik, NHPC menyiapkan dana kompensasi US$3 juta (Rp49 miliar) untuk pembangunan infrastruktur darurat dan fasilitas pendidikan di wilayah terdampak.

Geopolitik dan Risiko Keamanan

Persaingan bendungan di Brahmaputra mempertegas rivalitas geopolitik kedua negara. India menuduh China berusaha menggunakan air sebagai instrumen strategis untuk menekan lawan, terlebih aliran sungai ini melintasi Arunachal Pradesh yang oleh Beijing disebut sebagai “Tibet Selatan”.

Ironisnya, India juga pernah dituding melakukan strategi serupa oleh Pakistan setelah mundur dari sebagian komitmen Perjanjian Air Indus 1960. Kedua negara sama-sama menuding lawan mempolitisasi air, sambil memainkan taktik serupa di arena berbeda.

Selain faktor politik, risiko teknis tak kalah berbahaya. Tibet dan Arunachal Pradesh masuk dalam zona seismik paling rawan gempa di dunia. Potensi gempa besar, tanah longsor, banjir bandang akibat pecahnya gletser, dan curah hujan ekstrem akibat perubahan iklim membuat mega-bendungan di wilayah ini rawan bencana. Kegagalan struktur dapat menimbulkan dampak lintas batas: menghancurkan ribuan desa, merusak infrastruktur vital, hingga menciptakan krisis kemanusiaan masif.

Perlombaan Jangka Panjang

Meski ambisius, kedua proyek masih menghadapi jalan panjang. Upper Siang Dam diperkirakan butuh waktu pembangunan lebih dari satu dekade, sementara bendungan raksasa China di Tibet baru mungkin beroperasi pada awal hingga pertengahan 2030-an.

Ironisnya, timeline panjang ini justru membuka celah kerentanan baru. India berisiko besar selama masa konstruksi. Jika China melepaskan air dalam jumlah besar di musim hujan, bendungan sementara India yang belum rampung bisa gagal menahan debit, memicu kerusakan sebelum infrastruktur strategis itu benar-benar siap.

Dengan demikian, persaingan bendungan di Sungai Brahmaputra bukan sekadar proyek energi atau infrastruktur, melainkan bagian dari babak baru rivalitas geopolitik China-India—di mana air kini menjadi senjata strategis yang sama pentingnya dengan militer dan ekonomi.