Nasional

Borok Kebijakan Anak 'Nakal' Masuk Barak

  • Meski dianggap mampu mendisiplinkan anak secara cepat, pendekatan militer dalam mendidik anak sipil dikritik sejumlah pakar. Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Atnike Nova Sigiromenilai menilai cara seperti ini tidak berdasar dan bisa memunculkan dampak psikologis jangka panjang.
Waspadai, 10 Tanda Anak Remaja Anda Mungkin Korban Bully
Waspadai, 10 Tanda Anak Remaja Anda Mungkin Korban Bully (Istimewa)

JAKARTA - Sejumlah pemerintah daerah di Indonesia mulai mengirimkan siswa SMP dan SMA yang dianggap bermasalah ke barak militer untuk mendapatkan pembinaan disiplin. Di Cianjur, Jawa Barat, sebanyak 30 siswa SMP dikirim Pemerintah Kabupaten ke barak Kodim 0608 dan Yonif Raider 300/Brajawijaya untuk mendapatkan pelatihan disiplin. 

“Langkah tersebut merupakan bagian dari komitmen kami memperbaiki kualitas generasi muda Cianjur. Mereka yang dianggap bermasalah atau nakal seperti terlibat tawuran, mabuk-mabukan, hingga penyimpangan seksual akan mendapat pembinaan di barak,” ungkap Bupati Cianjur Mohamad Wahyu Ferdian,  belum lama ini.

Program serupa dilakukan di Purwakarta, yang mengirimkan 40 siswa ke markas Resimen Armed 1 Kostrad untuk mengikuti pembinaan selama enam bulan hingga satu tahun. Di Singkawang, Kalimantan Barat, Camp Rindam XII/Tanjungpura digunakan sebagai lokasi pembinaan bagi pelaku balap liar.

“Pembekalan ini diberikan untuk mereka yang telah diamankan oleh Satuan Lalu Lintas Polres Singkawang beberapa hari lalu. Mereka dipastikan akan mengikuti program pembekalan bela negara di Rindam XII Tanjungpura,” jelas Wali Kota Singkawang, Tjhai Chui Mie.

Para peserta pembinaan di barak militer menjalani rutinitas layaknya prajurit, seperti bangun pagi, latihan baris berbaris, serta pelatihan bela negara. Mereka sebelumnya terjaring kasus tawuran, pelanggaran lalu lintas, hingga kenakalan remaja lainnya.

Fenomena memasukkan siswa ke barak TNI tak lepas dari kebijakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi. Dedi telah menggandeng TNI-Polri untuk menyiapkan 30 hingga barak khusus. Upaya itu diklaim menjadi bagian dari pendidikan karakter siswa, terutama siswa yang sulit dibina atau yang terindikasi terlibat kriminal dan pergaulan bebas. 

Meski dianggap mampu mendisiplinkan anak secara cepat, pendekatan militer dalam mendidik anak sipil dikritik sejumlah pakar. Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Atnike Nova Sigiromenilai menilai cara seperti ini tidak berdasar dan bisa memunculkan dampak psikologis jangka panjang.

“Sebetulnya itu bukan kewenangan TNI untuk melakukan edukasi, civic education,” ungkap Atnike kepada awak media di kantor Komnas HAM, kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Jumat, 2 Mei 2025.

Ia menekankan pentingnya pendekatan positive discipline, yakni membimbing anak memahami konsekuensi logis dari perbuatannya, alih-alih menghukumnya secara fisik atau mental.

“Keliru jika itu dalam bentuk hukuman. Itu proses di luar hukum, kalau tidak berdasarkan hukum pidana atau hukum pidana bagi anak di bawah umur,” jelas Atnike. Ia juga mengingatkan praktik semacam itu berpotensi melanggar hak anak dan prinsip due process of law, karena tidak melalui mekanisme peradilan yang semestinya. 

Anak-anak yang dianggap "bermasalah" seharusnya mendapat asesmen psikologis dan intervensi edukatif, bukan langsung dikirim ke lingkungan yang menekankan ketakutan dan hukuman.

Pramuka Tak Lagi Dianggap Solusi?

Sebelum ada kebijakan memasukkan anak nakal ke barak TNI, Indonesia sebenarnya memiliki ekstrakurikuler Pramuka yang dapat menempa kedisiplinan dan tanggung jawab anak. Namun kewajiban mengikuti Pramuka justru dihapus saat Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dipimpin Nadiem Makarim.

Menteri Nadiem resmi mencabut kewajiban Pramuka sebagai ekstrakurikuler wajib melalui Peraturan Menteri Nomor 12 Tahun 2024. Sekolah tetap diwajibkan menyelenggarakan kegiatan Pramuka, namun keikutsertaan siswa bersifat sukarela.

Keputusan tersebut kala itu menuai beragam respons. Sebagian kalangan pendidik menyambut positif karena menghapus unsur paksaan dalam kegiatan ekstrakurikuler, tapi tak sedikit pula yang menyayangkan.Pramuka dinilai sejumlah kalangan sebagai salah satu sarana anak belajar tanggung jawab, gotong-royong, bahkan cinta tanah air. 

Data Kenakalan Remaja

Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 menunjukkan sekitar 4,2% anak usia 10–18 tahun di Indonesia terlibat kenakalan remaja, seperti tawuran, perundungan, dan penyalahgunaan zat. Meski angkanya relatif kecil, kasus-kasus tersebut sering kali viral dan memunculkan kepanikan publik.

Beberapa daerah menilai barak militer dapat menjadi solusi cepat untuk menekan kasus kenakalan remaja. Namun, para ahli menilai solusi jangka panjang seharusnya melibatkan revitalisasi pendidikan karakter yang sistematis di sekolah.

Penguatan kembali kegiatan Pramuka dapat menjadi alternatif yang lebih ramah anak dalam membentuk karakter. Melalui aktivitas seperti berkemah, kerja kelompok, dan kepemimpinan regu, siswa bisa belajar tanggung jawab dan gotong royong dalam suasana yang partisipatif.

Atnike menekankan anak-anak yang berperilaku nakal bukanlah musuh negara, melainkan individu yang membutuhkan bimbingan. Fenomena pelibatan militer dalam pendidikan anak menandai perubahan pendekatan negara dalam membentuk karakter generasi muda. 

Namun di tengah perubahan tersebut, muncul pertanyaan krusial, apakah keteladanan, kasih sayang, dan ruang ekspresi anak akan tergantikan oleh disiplin dalam bentuk barak?