Tren Pasar

Bitcoin Jatuh Saat Wall Street Menguat, Ada Apa dengan Pasar Kripto?

  • Fenomena langka, Bitcoin turun hampir 30% saat saham AS reli. Pelajari faktor makroekonomi dan apa yang harus dilakukan investor.
closeup-golden-bitcoins-dark-reflective-surface-histogram-decreasing-crypto.jpg
Ilustrasi aset kripto Bitcoin. (Freepik)

JAKARTA, TRENASIA.ID - Pasar keuangan global tengah mengalami dinamika yang tak biasa. Untuk pertama kalinya sejak 2014, Bitcoin justru merosot ketika Wall Street sedang tumbuh kuat. 

Pergerakan yang bertolak belakang ini menimbulkan tanda tanya besar di kalangan analis dan investor, karena hubungan antara Bitcoin dan pasar saham selama beberapa tahun terakhir biasanya bergerak searah. Fenomena ini memunculkan dugaan bahwa ada perubahan struktural dalam cara pasar melihat aset kripto.

Harga Bitcoin tertekan dan jatuh lebih dari 4% hingga berada di kisaran US$ 88.945. Angka ini membuatnya makin jauh dari rekor tertinggi US$ 125.000 yang dicapai sebelumnya. 

Meski masih berada sedikit di atas titik terendah terbarunya di US$ 85.000, penurunan ini menunjukkan Bitcoin telah kehilangan hampir 30% nilainya dari puncak. 

Koreksi sebesar ini menandakan tekanan cukup besar pada pasar kripto, terutama setelah reli panjang tahun lalu yang sempat membawa optimisme baru di kalangan investor.

Kontras dengan kondisi Bitcoin, pasar saham AS, khususnya S&P 500, terus mencatat performa kuat dengan kenaikan lebih dari 16% sepanjang tahun.

Investor berbondong-bondong masuk ke saham-saham besar, terutama yang berhubungan dengan perkembangan teknologi kecerdasan buatan, pemulihan ekonomi, dan ekspektasi turunnya inflasi. 

Dikutip laman Fast Company, Senin, 8 Desember 2025, biasanya, Bitcoin akan mengikuti arah yang sama dengan pasar saham, bahkan sering kali bergerak lebih agresif. Namuntren yang terjadi saat ini menjadi hal yang sangat jarang dan membuat banyak pengamat pasar mulai mempertanyakan apa yang terjadi di balik melemahnya kripto.

Selama beberapa tahun terakhir, Bitcoin memiliki korelasi kuat dengan saham, terutama saham teknologi. Ketika pasar saham menguat, Bitcoin biasanya ikut menguat, ketika pasar saham jatuh, Bitcoin sering terkoreksi lebih dalam.  Oleh karena itu, melemahnya Bitcoin ketika saham justru menanjak dianggap anomali pasar.

Baca juga : Aplikasi Saham AS Robinhood Ekspansi ke RI, Target Operasi 2026

Mengapa Investor Melepas Aset Kripto?

Fast Company menyebut sejumlah faktor besar menekan pasar kripto secara bersamaan. Inflasi yang masih tinggi membuat investor lebih berhati-hati dan mengalihkan dana ke aset yang dianggap aman. 

Perubahan kebijakan suku bunga oleh bank sentral Amerika Serikat juga mempengaruhi minat terhadap Bitcoin, karena aset ini tidak menghasilkan imbal hasil seperti obligasi pemerintah. 

Kekhawatiran mengenai potensi gelembung sektor AI menambah tekanan, membuat investor semakin menghindari aset berisiko tinggi. Selain itu, kondisi ekonomi “K-shaped” yang menunjukkan ketimpangan pertumbuhan membuat pasar semakin tidak pasti. 

Euforia kripto yang sempat menguat pada awal pemerintahan Trump kini juga meredup, melemahkan antusiasme pasar terhadap aset digital.

Sebelumnya, kebijakan-kebijakan pro-kripto dari pemerintahan AS sempat memberikan dorongan besar bagi pasar. Dukungan regulasi dan pandangan positif terhadap blockchain telah meningkatkan optimisme investor. 

Namun tekanan makroekonomi global yang lebih kuat membuat efek positif tersebut tidak cukup untuk menahan penurunan harga Bitcoin. 

Kondisi ekonomi dunia yang dipenuhi kekhawatiran inflasi, suku bunga tinggi, dan ketidakpastian geopolitik membuat sentimen kripto tertutup oleh risiko besar lainnya.

Apakah Bitcoin Berbahaya Saat Ini?

Masih menurut Fast Company, para analis menilai penurunan Bitcoin di tengah reli saham bukan berarti kehancuran pasar kripto, melainkan sinyal bahwa Bitcoin sedang memasuki fase penyesuaian besar atau konsolidasi. 

Investor kini menjadi lebih selektif dan berhati-hati dalam menempatkan modal, terutama setelah reli panjang tahun lalu. Perubahan perilaku investor ini dapat menjadi indikasi bahwa pasar sedang menyeimbangkan kembali risiko dan mencari posisi baru menjelang perubahan kebijakan moneter global.

Investor disarankan untuk tidak terburu-buru melakukan penjualan panik. Evaluasi tujuan investasi, apakah untuk jangka pendek atau panjang, penting dilakukan sebelum mengambil keputusan. 

Metode dollar-cost averaging dapat menjadi strategi yang membantu mengurangi risiko salah timing. Menyimpan aset di wallet pribadi, terutama hardware wallet, juga disarankan untuk mengurangi risiko gangguan di platform exchange. 

Baca Juga : Ide Patungan Beli Hutan Pandawara Group Bersambut 2 Influencer Beri Rp1,5 Miliar

Diversifikasi portofolio menjadi langkah penting agar tidak hanya mengandalkan Bitcoin. Selain itu, memantau kebijakan suku bunga The Fed sangat penting karena sangat memengaruhi pergerakan kripto. Terakhir, investor perlu menetapkan stop-loss dan target profit untuk menjaga manajemen risiko tetap disiplin.

Fenomena ketika Bitcoin jatuh di saat Wall Street justru menguat memberikan gambaran bahwa pasar sedang berada dalam fase yang penuh kehati-hatian. 

Ketidaksinkronan ini menggambarkan dinamika baru, di mana kripto tampaknya lebih peka terhadap tekanan makro dibanding pasar saham. Namun sejarah Bitcoin menunjukkan periode tekanan sering kali menjadi awal fase akumulasi baru.