Tren Pasar

Bitcoin Gagal Reli Meski Shutdown AS Berakhir, Analis Soroti Tekanan Jual 'Whale' Lama

  • Bitcoin (BTC) gagal reli pasca-shutdown AS karena Dolar AS yang kuat menekan aset berisiko. Selain itu, analis Tokocrypto menyoroti adanya tekanan jual tambahan dari whale (investor lama).
<p>Ilustrasi bitcoin / Pixabay</p>

Ilustrasi bitcoin / Pixabay

(Istimewa)

JAKARTA, TRENASIA.ID – Berakhirnya government shutdown terpanjang dalam sejarah AS (43 hari) gagal memicu reli signifikan di pasar kripto. Bitcoin (BTC) hanya mencatat kenaikan tipis 1% ke kisaran US$102.400 (Rp1,69 miliar) dalam 24 jam terakhir.

Harga aset digital itu belum mampu menembus level psikologis di atas US$106.000 (Rp1,75 miliar). Analis Tokocrypto, Fyqieh Fachrur, menilai kenaikan ini masih bersifat teknikal dan lemah, bukan sinyal pembalikan arah yang kuat.

“Rebound Bitcoin kali ini lebih seperti dead cat bounce, yakni kenaikan sesaat setelah tekanan jual besar. Sentimen global memang mulai pulih setelah shutdown AS berakhir," ujar Fyqieh di Jakarta, melalui keterangannya, Kamis, 13 November 2025.

1. Pasar Kripto Masih 'Wait and See'

Berakhirnya shutdown membuat sejumlah lembaga penting seperti SEC dan CFTC kembali beroperasi. Hal ini berarti proses persetujuan ETF spot Bitcoin yang sempat tertunda kini dapat dilanjutkan oleh regulator.

Namun, Fyqieh menilai efeknya tidak akan langsung terasa di pasar. “Investor masih menunggu kepastian dari SEC soal ETF kripto dan arah kebijakan fiskal AS ke depan," katanya.

Sentimen positif dari ETF juga tertahan oleh faktor makro. "Dengan indeks dolar AS (DXY) yang terus menguat, banyak pelaku pasar justru menahan posisi di aset berisiko seperti Bitcoin,” katanya. Dolar yang kuat biasanya menekan minat pada aset alternatif.

Berdasarkan data pasar, inflow ke ETF Bitcoin senilai US$524 juta (sekitar Rp8,65 triliun) baru-baru ini juga belum cukup kuat untuk mendorong harga naik secara signifikan di tengah tekanan yang ada.

2. Tekanan Jual dari 'Whale' Lama

Selain faktor makroekonomi, pasar juga dibebani penjualan oleh pemegang Bitcoin jangka panjang (whale). Sejumlah alamat dompet yang tidak aktif sejak 2018 dilaporkan mulai memindahkan aset mereka ke bursa-bursa kripto.

Laporan mencatat adanya transfer 1.800 BTC (senilai lebih dari US$200 juta atau Rp3,3 triliun) ke bursa Kraken. Aksi jual oleh whale lama atau investor institusional yang lama tidak aktif ini menambah tekanan signifikan pada harga pasar Bitcoin saat ini.

“Ketika whale lama mulai menjual, biasanya mereka melihat risiko tertentu di depan. Bisa jadi karena isu quantum computing atau kekhawatiran terhadap keamanan jangka panjang jaringan Bitcoin,” kata Fyqieh.

3. Rotasi ke 'Privacy Coin'

Menariknya, sebagian dana yang keluar dari Bitcoin justru terpantau mengalir ke privacy coin. Aset seperti Zcash (ZEC), Decred (DCR), dan Monero (XMR) dilaporkan naik 20% hingga 100% dalam sebulan terakhir.

“Rotasi ke privacy coin menunjukkan investor mencari alternatif dengan privasi dan keamanan lebih tinggi. Ini sinyal bahwa pasar sedang mencari narasi baru di luar Bitcoin,” tambahnya.

4. Potensi Kenaikan Masih Terbatas

Meski shutdown AS berakhir, Fyqieh menilai investor perlu tetap berhati-hati. Euforia berakhirnya shutdown dinilai belum cukup untuk menghidupkan kembali bull market Bitcoin dalam jangka pendek, karena pasar masih menunggu katalis kuat lainnya.

“Selama Bitcoin gagal menembus area 106.000–108.000 dollar AS dengan volume kuat, arah jangka pendek masih sideways to bearish," ujar Fyqieh.

Ia menambahkan bahwa support kuat saat ini berada di kisaran US$98.000. "Potensi kenaikan baru terbuka jika harga menutup harian di atas 110.000 dollar AS,” pungkas Fyqieh.