Bitcoin dan Saham AS Potensi Anjlok, Buffett Timbun Kas Rp5.757 Triliun
- Nasdaq overvalued, Bitcoin rawan terkoreksi anjlok. Buffett menumpuk kas besar-besaran sebagai antisipasi krisis pasar 2025-2026.

Muhammad Imam Hatami
Author


Ilustrasi Trading Bitcoin / Pixabay.com
(Istimewa)JAKARTA, TRENASIA.ID - Investor legendaris Warren Buffett kembali mengirim sinyal waspada kepada pasar keuangan global. Melalui konglomerasi investasinya, Berkshire Hathaway, Buffett menimbun kas dan Treasury bills hingga US$350 miliar (Rp5.757 triliun) per pertengahan 2025.
Jumlah ini menembus rekor tertinggi sepanjang sejarah perusahaan, setara 50,7% dari ekuitas pemegang saham dan 30% dari total aset. Langkah tersebut menjadi sorotan karena level kas serupa pernah terlihat sebelum krisis besar melanda, sehingga pasar menilai Buffett tengah mempersiapkan strategi menghadapi kemungkinan gejolak ekonomi.
Langkah Buffett kali ini bukan tanpa preseden. Pada periode 1998-2000, Buffet membiarkan kas Berkshire mencapai 25% dari aset perusahaan. Ketika gelembung Dot-Com pecah, Buffett menggunakan cadangan kas besar itu untuk membeli saham-saham yang harganya jatuh, menghasilkan keuntungan signifikan di tahun-tahun berikutnya.
Pola serupa terulang pada 2005-2007, ketika cadangan kas setara 51% ekuitas disimpan menjelang krisis finansial global 2008. Setelah krisis terjadi, Buffett kembali menjadi pembeli besar di saat banyak investor lain tertekan.
Kini, pada periode 2024-2025, kas Berkshire kembali menembus angka lebih dari 50% ekuitas, yang oleh banyak analis dipandang sebagai indikasi kuat bahwa Buffett mengantisipasi adanya koreksi besar dalam waktu dekat.
Risiko Nasdaq dan Potensi Bubble
Kekhawatiran Buffett sejalan dengan kondisi pasar saham, khususnya di Amerika Serikat. Kapitalisasi Nasdaq saat ini mencapai 176% dari M2 (jumlah uang beredar) di AS, jauh melampaui posisi 131% ketika gelembung Dot-Com mencapai puncaknya pada tahun 2000.
Periode Dot-Com berlangsung ketika euforia terhadap internet melahirkan ribuan perusahaan berbasis teknologi dan mendorong Nasdaq melonjak tajam.
Pada puncaknya di awal 2000, valuasi saham teknologi mencapai level yang jauh melampaui fundamental bisnis. Namun, gelembung ini pecah pada bulan Maret 2000, membuat Nasdaq anjlok lebih dari 75% dalam dua tahun berikutnya dan menyebabkan banyak perusahaan dot-com bangkrut.
Jika diukur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) AS, kapitalisasi Nasdaq setara 129%, hampir dua kali lipat dari level 70% pada periode Dot-Com. Angka-angka ini menunjukkan saham-saham teknologi Amerika berada pada valuasi yang sangat tinggi, sehingga risiko bubble pecah semakin besar.
Kondisi ini berimplikasi langsung terhadap Bitcoin, karena aset digital terbesar itu memiliki korelasi cukup kuat dengan Nasdaq, yakni 0,73. Artinya, bila pasar saham terguncang, Bitcoin berpotensi ikut mengalami penurunan tajam akibat pergerakan yang sinkron dengan sektor teknologi.
Faktor Likuiditas Global
Meski bayang-bayang koreksi menghantui, ada satu faktor yang dapat memberi penopang bagi Bitcoin, yakni likuiditas global. Data menunjukkan M2 Amerika Serikat per Juli 2025 tumbuh 4,8% year-on-year menjadi US$22,1 triliun, laju pertumbuhan tercepat sejak awal 2022.
Selain itu, lebih dari 20 bank sentral dunia telah menurunkan suku bunga sepanjang 2025. Jika tren ini berlanjut dan The Fed mengambil sikap lebih longgar, M2 berpotensi tumbuh 10–12% per tahun.
Secara historis, peningkatan M2 memiliki dampak signifikan terhadap Bitcoin, meski dengan jeda sekitar 12 minggu. Hal ini terbukti pasca 2020, ketika ekspansi likuiditas besar-besaran mendorong harga Bitcoin melonjak dari US$3.800 hingga menembus US$69.000 hanya dalam waktu dua tahun.
Berdasarkan kondisi tersebut, ada dua skenario utama yang diperkirakan akan memengaruhi pergerakan Bitcoin hingga 2026. Pertama, jika pasar saham global terkoreksi tajam, maka Bitcoin berisiko ikut jatuh bersama Nasdaq dalam jangka pendek. Investor cenderung mengambil langkah risk-off, menghindari aset berisiko, sehingga kripto tidak luput dari aksi jual.
Kedua, jika likuiditas global terus meningkat, Bitcoin justru bisa mendapat dorongan jangka menengah hingga panjang. Lonjakan jumlah uang beredar dapat kembali menciptakan reli seperti yang terjadi pada 2020–2021, meski volatilitas dalam jangka pendek tetap tinggi.
Penimbunan kas raksasa Buffett menjadi sinyal keras bahwa ia tengah bersiap menghadapi potensi badai pasar. Dengan valuasi Nasdaq yang berada di level ekstrem, risiko bubble pecah semakin nyata, dan Bitcoin berisiko terseret karena keterkaitannya dengan saham teknologi.
Namun, di sisi lain, arus likuiditas global berpotensi menjadi penopang baru yang bisa mendorong harga Bitcoin tetap bertahan, bahkan naik, dalam jangka menengah. Pada akhirnya, arah pasar keuangan global dalam 2025–2026 akan sangat ditentukan oleh keseimbangan antara risiko koreksi tajam di pasar saham dan peluang reli akibat melimpahnya likuiditas.

Muhammad Imam Hatami
Editor
