Tren Leisure

Berlian Asli Buatan Laboratorium, Kilau Mewah dari Teknologi

  • Dari HPHT hingga CVD, teknologi melahirkan berlian buatan lab yang identik dengan berlian alami. Apa keunggulannya?
Williamson Pink Star.
Williamson Pink Star. (nickireland)

JAKARTA, TRENASIA.ID - Berlian sejak lama menjadi simbol kemewahan, cinta, dan status sosial. Namun, di balik kilaunya, berlian alami menyimpan cerita panjang tentang proses jutaan tahun di perut bumi dan praktik penambangan yang kerap menuai kritik. 

Kini, kemajuan teknologi melahirkan alternatif baru berupa berlian imitasi buatan laboratorium (lab-grown diamond). Meski lahir dari mesin, berlian ini secara kimia, fisik, dan optik identik dengan berlian alami, bahkan sulit dibedakan oleh mata manusia.

Ada dua cara untuk melahirkan berlian laboratorium. Pertama, High Pressure High Temperature (HPHT), metode klasik yang meniru kondisi ekstrem di dalam bumi. 

Dalam sebuah mesin press, sebutir benih berlian ditemani karbon grafit dan katalis logam seperti nikel atau kobalt. Dalam tekanan hingga 5,6 gigapascal dan suhu lebih dari 1.300°C, karbon itu berubah menjadi kristal yang tumbuh lapis demi lapis.

Metode kedua adalah Chemical Vapor Deposition (CVD). Di sini, benih berlian “diberi makan” gas metana dalam ruang vakum. Gas itu dipanaskan hingga berubah menjadi plasma, lalu atom karbonnya perlahan mengendap di permukaan benih, membentuk kristal baru yang jernih. Berbeda dengan HPHT yang mengandalkan kekuatan mekanis, CVD lebih hemat energi dan mampu menghasilkan berlian dengan kemurnian tinggi.

Baca juga : NASA Temukan Planet Berlian Raksasa, 5 Kali Lebih Besar dari Bumi

Awal Mula Teknologi Berlian Ditemukan

Teknologi ini tidak lahir di satu tempat saja. Swedia mencatat sejarah pada tahun1953 lewat perusahaan ASEA yang pertama kali berhasil membuat berlian sintetis dengan metode HPHT. 

Amerika Serikat kemudian melanjutkannya melalui General Electric dan kini lewat perusahaan seperti Diamond Foundry, yang bahkan didukung aktor Leonardo DiCaprio. China dan India tak mau kalah, kedua negara itu kini menguasai pasar global berlian buatan lab dengan biaya produksi lebih rendah.

Indonesia sendiri mulai melirik peluang ini. Beberapa startup lokal bekerja sama dengan laboratorium internasional mencoba menghadirkan berlian laboratorium sebagai alternatif ramah lingkungan bagi pasar perhiasan domestik.

Kilau berlian laboratorium tak hanya memikat dalam bentuk cincin tunangan atau anting. Dengan harga 30-50 persen lebih murah dibanding berlian alami, pasar perhiasan melihatnya sebagai peluang besar. 

Tetapi keunggulan sejati justru muncul di dunia teknologi. Sifat konduktivitas termal dan kekerasan berlian menjadikannya bahan penting dalam industri semikonduktor, laser, hingga optik presisi. 

Baca juga : G7 Matangkan Rencana Embargo Impor Berlian Rusia

Bahkan, perusahaan berlian laboratorium telah bekerja sama dengan raksasa teknologi seperti Nvidia untuk mengembangkan chip berbasis berlian.

Meski identik dengan berlian alami, persepsi publik masih bercampur. Sebagian konsumen menganggap berlian laboratorium “palsu” karena tidak berasal dari perut bumi. 

Nilai jual kembalinya pun cenderung lebih rendah karena produksi massal membuat pasokannya melimpah. Namun, bagi generasi muda yang lebih peduli pada isu lingkungan dan transparansi rantai pasok, berlian laboratorium justru dianggap pilihan etis.

Toko ritel Berlian terbesar di dunia, James Allen, memperkirakan berlian laboratorium akan menguasai hingga 10 persen pangsa berlian pada 2030. Inovasi terus berlanjut, termasuk penggabungan metode HPHT dan CVD untuk menciptakan berlian dengan kualitas lebih tinggi serta warna yang lebih terkendali.

 Bagi Indonesia, peluang ini bisa menjadi pintu masuk untuk mengembangkan industri baru yang bukan hanya berkilau, tapi juga berkelanjutan.