Tren Global

Belajar dari Myanmar, Sesar San Andreas Bisa Picu Gempa yang Sangat Berbeda

  • Lempeng tektonik dapat menyebarkan subduksi seperti penyakit menular. Berpindah dari satu lempeng samudra ke lempeng samudra lainnya
<p>Patahan San Andreas</p>

Patahan San Andreas

(Istimewa)

JAKARTA,TRENASIA-ID- Sebuah studi mengenai gempa bumi Myanmar bulan Maret lalu menemukan bahwa patahan geser tidak selalu mengulangi perilaku masa lalu. Ini berarti patahan San Andreas dapat melepaskan gempa yang lebih besar daripada yang pernah terlihat sebelumnya. 

Wawasan baru tentang perilaku patahan diperoleh dari studi gempa bumi dahsyat di Myanmar pada bulan Maret . Gempa menewaskan lebih dari 5.000 orang dan menyebabkan kerusakan yang meluas. Para ilmuwan menemukan bahwa patahan yang menjadi penyebab gempa yang dikenal sebagai Sesar Sagaing pecah di area yang lebih luas, dan di tempat-tempat yang tidak mereka duga berdasarkan peristiwa sebelumnya.

Sesar adalah retakan di kerak bumi. Tekanan dapat menumpuk di sepanjang sesar hingga akhirnya sesar tersebut tiba-tiba pecah, menyebabkan gempa bumi . Karena sesar Sagaing dan San Andreas serupa, apa yang terjadi di Myanmar dapat membantu para peneliti lebih memahami apa yang mungkin terjadi di California.

Lempeng tektonik dapat menyebarkan subduksi seperti penyakit menular. Berpindah dari satu lempeng samudra ke lempeng samudra lainnya

Baca juga: Info Grafis: 10 Gempa Terdahsyat Sepanjang Sejarah

"Studi ini menunjukkan bahwa gempa bumi di masa depan mungkin tidak hanya mengulang gempa bumi yang telah diketahui sebelumnya," ujar co penulis studi Jean-Philippe Avouac , seorang profesor geologi, teknik mesin, dan teknik sipil di Caltech, dalam sebuah pernyataan yang dikutip Live Science baru-baru ini. 

"Retakan beruntun pada suatu patahan, bahkan yang sederhana seperti patahan Sagaing atau San Andreas, bisa sangat berbeda dan dapat melepaskan lebih banyak lagi daripada defisit pergeseran sejak kejadian terakhir."

Sesar San Andreas adalah sesar terpanjang di California, membentang sekitar 1.200 kilometer dari selatan negara bagian di Laut Salton hingga utara di lepas pantai Mendocino. Menurut Badan Survei Geologi AS (USGS), ada tahun 1906, sebuah patahan di bagian utara sesar tersebut menyebabkan gempa bumi dahsyat berkekuatan 7,9 skala Richter yang menewaskan lebih dari 3.000 orang.

Gempa bumi memang sulit diprediksi, tetapi para ahli geologi telah lama memperingatkan bahwa Sesar San Andreas akan menghasilkan gempa besar lainnya di suatu saat nanti. Misalnya, wilayah yang paling dekat dengan Los Angeles memiliki peluang 60% untuk mengalami gempa berkekuatan 6,7 atau lebih besar dalam 30 tahun ke depan.

Mirip San Andreas

Sesar Sagaing yang panjangnya  1.400 km mirip dengan Sesar San Andreas karena keduanya merupakan sesar geser yang panjang dan lurus. Ini  berarti batuannya bergeser secara horizontal dengan sedikit atau tanpa gerakan vertikal.

Para ahli geologi memperkirakan Sesar Sagaing akan bergeser di suatu tempat di sepanjang bentangannya. Lebih tepatnya, mereka memperkirakan patahan tersebut akan terjadi di sepanjang bagian patahan sepanjang 300 km di mana gempa bumi besar belum pernah terjadi sejak tahun 1839. Dugaan ini didasarkan pada hipotesis celah seismik , yang memperkirakan bahwa bagian patahan yang tertahan—yang sudah lama tidak bergerak—akan bergeser untuk mengejar posisinya sebelumnya, menurut pernyataan tersebut.

Baca juga: Nihil Korban dan Minim Kerusakan: Menyibak di Balik Gempa Rusia

Namun, dalam kasus Sagaing, pergeseran terjadi di sepanjang lebih dari 500 km patahan, yang berarti pergeseran tersebut terjadi lebih jauh lagi. Para peneliti menggunakan teknik khusus untuk mengkorelasikan citra satelit sebelum dan sesudah kejadian. Citra-citra tersebut mengungkapkan bahwa setelah gempa bumi, sisi timur patahan bergerak ke selatan sekitar 3 m relatif terhadap sisi barat. Para ilmuwan mengatakan bahwa teknik pencitraan yang mereka gunakan dapat membantu menyempurnakan model gempa bumi di masa mendatang.

"Gempa bumi ini ternyata menjadi kasus ideal untuk menerapkan metode korelasi citra [teknik untuk membandingkan citra sebelum dan sesudah peristiwa geologi] yang dikembangkan oleh kelompok riset kami," ujar penulis utama studi Solène Antoine , seorang peneliti pascadoktoral geologi di Caltech, dalam pernyataannya. 

"Metode ini memungkinkan kami mengukur pergeseran tanah di patahan, di mana metode alternatifnya, interferometri radar, bersifat buta karena fenomena seperti dekorelasi [proses untuk memisahkan sinyal] dan sensitivitas yang terbatas terhadap pergeseran utara-selatan."