Tren Global

Belajar dari Co-Payment di Thailand: Solusi Adil Hadapi Inflasi Medis

  • Berbeda dari banyak negara lain yang menerapkan skema seragam, Thailand memilih jalan yang lebih selektif dan berkeadilan. Kebijakan co-payment di Thailand hanya diberlakukan bagi pemegang polis yang dianggap menggunakan layanan medis secara berlebihan.
teknologi smart utility di rumah sakit (1) (1).jpg
Ilustrasi penggunaan teknologi smart utility di rumah sakit. (TrenAsia)

BANGKOK - Di tengah lonjakan inflasi medis dan meningkatnya klaim asuransi pascapandemi, pemerintah Thailand mengambil langkah strategis dengan menerapkan kebijakan co-payment dalam sistem asuransi kesehatan. 

Namun, berbeda dari banyak negara lain yang menerapkan skema seragam, Thailand memilih jalan yang lebih selektif dan berkeadilan. Mulai 20 Maret 2025, kebijakan co-payment di Thailand hanya diberlakukan bagi pemegang polis yang dianggap menggunakan layanan medis secara berlebihan. 

Misalnya, jika dalam satu tahun seorang nasabah mengajukan klaim untuk penyakit umum seperti sakit kepala, flu, atau gangguan lambung dengan total biaya klaim mencapai 200% dari nilai premi, maka pada tahun berikutnya ia akan dikenai skema co-payment sebesar 30%. 

Bila jumlah klaimnya mencapai 400% premi atau lebih, tetap akan dikenai 30%. Bila kedua kondisi terpenuhi, co-pay meningkat menjadi 50%. Namun, sistem ini tidak menyasar seluruh nasabah secara pukul rata. Untuk penyakit berat, operasi besar, atau kondisi kritis, kebijakan co-payment tidak berlaku. 

Langkah ini tidak datang tanpa alasan. Data dari sektor kesehatan menunjukkan inflasi biaya medis di Thailand kini menyentuh angka 8 hingga 15% per tahun, terutama pascapandemi COVID-19. 

Banyak perusahaan asuransi mengalami tekanan karena frekuensi klaim melonjak, sebagian besar untuk penyakit ringan yang tidak memerlukan perawatan intensif. Perusahaan asuransi di Thailand merespons kebijakan ini dengan menyesuaikan produk, memperkenalkan paket fleksibel yang menyertakan fitur co-payment sesuai profil risiko. 

Banyak juga yang mulai membangun kemitraan strategis dengan rumah sakit agar biaya layanan bisa ditekan. Konsumen Thailand sendiri awalnya menunjukkan kekhawatiran. Namun berkat komunikasi dan edukasi yang intensif, terutama mengenai pengecualian untuk kasus berat dan manfaat jangka panjang seperti premi yang lebih stabil, sebagian besar mulai menerima pendekatan ini.

Thailand kini juga tengah memperkuat sistem dengan tambahan layanan seperti telemedicine, program kesehatan preventif, dan aplikasi manajemen kesehatan digital. Semua diarahkan untuk mencegah penyakit sejak dini dan mengurangi klaim yang bisa dihindari.

Co-Payment di Indonesia

Sementara itu, Indonesia sendiri akan menetapkan kebijakan co-payment mulai 1 Januari 2026. Namun, skemanya diterapkan menyeluruh, setiap pemegang polis akan dikenai biaya sebesar 10% dari total klaim, dengan batas maksimum Rp300.000 untuk rawat jalan dan Rp3.000.000 untuk rawat inap tanpa mempertimbangkan riwayat klaim sebelumnya.

 Hal ini dinilai berpotensi menimbulkan resistensi jika tidak diimbangi dengan edukasi yang memadai. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengeluarkan aturan baru yang mengatur skema co-payment dalam produk asuransi melalui Surat Edaran OJK (SEOJK) Nomor 7/SEOJK.05/2025. 

Pengamat asuransi Irvan Rahardjo menilai penerapan co-payment tidak akan merugikan masyarakat karena ketentuan ini justru dapat mendorong penurunan premi. Selama ini, menurutnya, banyak terjadi klaim yang berlebihan atau overutilitas yang membebani sistem. 

“Tidak merugikan sepanjang perusahaan asuransi menunjukkan komitmen pelayanan klaim yang lebih baik dan upaya penurunan premi sebagai kompensasi atas berlakunya tanggungan sendiri atau co-payment,” kata Irvan dalam keterangan resmi di Jakarta, dikutip Kamis, 12 Juni 2025.