Tren Inspirasi

Babak Dramatis Hidup Antasari Azhar, Sikat Koruptor Hingga Dituduh Membunuh

  • Wafatnya Antasari Azhar mengungkap kembali kisah naik-turun sang mantan Ketua KPK, dari pemburu koruptor, Cicak Vs Buaya hingga terjerat kasus pembunuhan kontroversial, sepak terjangnya mewarnai dinamika politik nasional
_92375082_gettyimages-95862950.jpg

JAKARTA, TRENASIA.ID - Wafatnya mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar pada tanggal 8 November 2025 kemarin kembali membuka memori publik tentang sosok yang pernah dielu-elukan sebagai simbol pemberantasan korupsi, namun jatuh secara dramatis akibat kasus pembunuhan yang penuh tanda tanya. 

Nama Antasari adalah ironi, dari kursi tertinggi lembaga antirasuah, ia justru menghabiskan tahun-tahun berikutnya sebagai terpidana.

Lahir di Pangkalpinang pada 18 Maret 1953, Antasari menghabiskan masa mudanya jauh dari gegap gempita politik Jakarta. Ia menempuh pendidikan tinggi di Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Palembang, sebelum memulai karier sebagai jaksa pada tahun 1985 di Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat.

Kariernya meroket ketika ia dipercaya memimpin Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan pada 2000-2007. Di kursi strategis itu, namanya kerap menghiasi pemberitaan, termasuk karena kontroversi eksekusi hukuman terhadap Tommy Soeharto dalam kasus pembunuhan hakim agung, sebuah cerita yang lama menempel dalam persepsi publik terhadapnya.

Sikat Keluarga Presiden

Ketika DPR memilihnya sebagai Ketua KPK pada 6 Desember 2007, publik sempat mempertanyakan pilihannya. Namun dalam waktu singkat, Antasari menjelma menjadi figur keras yang tak ragu menangani kasus kakap.

Di bawah kepemimpinannya, KPK bergerak agresif dan menggulung sejumlah nama besar yang sebelumnya dianggap “kebal hukum.” Penangkapan jaksa Urip Tri Gunawan bersama pengusaha Artalyta Suryani dalam skandal suap BLBI menggemparkan publik, bukan hanya karena nilai uangnya, tetapi karena menyeret aparat penegak hukum yang seharusnya menjaga integritas. 

Tak berhenti di situ, KPK di era Antasari juga menahan politisi Al Amin Nur Nasution terkait kasus alih fungsi hutan lindung, serta memproses Aulia Pohan, besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dalam perkara dana Bank Indonesia Rp100 miliar. 

Baca juga : 7 Kebiasaan Traveling yang Tanpa Sadar Bikin Boros

Deretan kasus itu menegaskan citra KPK sebagai lembaga yang berani menyentuh lingkar kekuasaan, bahkan yang dekat dengan istana. Untuk pertama kalinya, publik menyaksikan KPK benar-benar “tak pandang bulu”.

Namun, keberanian yang membuatnya dipuji itu sekaligus menjadi mata pisau bermata dua. Langkah-langkah keras yang diambil Antasari diduga menyinggung banyak kepentingan, mengganggu jaringan kekuasaan, dan menantang aktor-aktor besar di balik layar. 

Dalam waktu singkat, ia bukan hanya memimpin perang melawan korupsi, tetapi juga tanpa disadari masuk ke pusaran konflik elite, pertempuran senyap yang kelak bukan saja menguji integritasnya, tetapi juga mengubah seluruh arah hidupnya.

“Cicak vs Buaya”

Di masa Antasari, relasi KPK dan Kepolisian memanas. Ketegangan meledak ketika KPK menyadap percakapan telepon Kepala Bareskrim Polri kala itu, Komjen Susno Duadji, terkait penyelidikan dugaan korupsi Bank Century.

Ucapan Susno kepada Tempo menjadi pemantik, “Cicak melawan buaya… kecil kok mau melawan besar.” Kalimat itu berubah menjadi metafora nasional antara cicak (KPK) melawan buaya (Polri), tapi publik justru memihak cicak.

Puncaknya, Polri menahan dua pimpinan KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah, dengan tuduhan penyalahgunaan wewenang. Gelombang protes pecah di jalan-jalan dan media sosial melalui gerakan #SaveKPK. 

Presiden SBY turun tangan dengan membentuk Tim 8, yang melalui bukti rekaman percakapan akhirnya membongkar dugaan kriminalisasi terhadap pimpinan KPK, kasus Bibit–Chandra pun dihentikan.

Konflik itu menjadi babakan penting dalam sejarah hukum Indonesia, Antasari berada tepat di tengah episentrum.

Baca juga : 7 Cara Tetap Termotivasi Bekerja Saat Keuangan Sedang Tidak Stabil

Kasus Pembunuhan dan Grasi

Titik balik hidup Antasari datang pada 4 Mei 2009. Polisi menetapkannya sebagai tersangka pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Nasruddin Zulkarnaen, yang ditembak usai bermain golf di kawasan Tangerang, 14 Maret 2009.

Motif yang disodorkan ke publik menyerupai drama sinetron, cemburu. Antasari dituduh memiliki hubungan gelap dengan seorang caddy golf, Rani Juliani, yang disebut-sebut sebagai istri ketiga Nasruddin. Nasruddin diklaim mengancam akan membeberkan hubungan itu.

Antasari dengan tegas membantah seluruh tuduhan, termasuk perselingkuhan. Ia menyebut dirinya “difitnah” dan menjadi korban rekayasa hukum akibat keberaniannya menyeret tokoh-tokoh kuat ke meja hijau. 

Bagi sebagian publik, narasi itu tidak terdengar mustahil, terutama di tengah riwayat konflik KPK-Polri kala itu.

Meski begitu, pengadilan tetap menjatuhkan vonis 18 tahun penjara pada Februari 2010. Upaya hukum seperti Peninjauan Kembali (PK) tidak membuahkan hasil.

Pada tanggal 10 November 2016, Presiden Joko Widodo memberikan grasi, memotong masa hukumannya. Antasari pun bebas bersyarat. Banyak menanti apakah ia akan membuka tabir yang selama bertahun-tahun disebut sebagai "kriminalisasi." Namun kepada publik, ia memilih berhati-hati.

Dalam beberapa kesempatan, ia hanya menyinggung bahwa kasusnya penuh kejanggalan, namun tidak pernah benar-benar membongkar secara gamblang siapa yang ia yakini berada di balik runtuhnya kariernya.

Antasari Azhar meninggalkan cerita yang kompleks, seorang pemburu koruptor yang sempat menjadi harapan rakyat, namun tumbang dalam kasus penuh kontroversi. Bagi sebagian orang, ia pahlawan yang digulingkan kekuatan besar. Bagi yang lain, ia tokoh dengan sisi gelap yang tak pernah sepenuhnya terungkap.

Wafatnya Antasari menutup bab tentang salah satu kisah paling dramatis dalam sejarah pemberantasan korupsi Indonesia, sebuah pengingat bahwa perjuangan melawan korupsi kerap menyentuh wilayah kekuasaan yang gelap, tidak jarang memakan tumbal, bahkan dari dalam lembaganya sendiri.