Aturan Free Float Baru OJK: Upaya Gaet MSCI, Tapi Picu Risiko Delisting Massal
- OJK akan menaikkan aturan free float emiten secara bertahap hingga target 25%. Analis Mirae Asset, Martha Christina, memperingatkan bahwa langkah ini berisiko membuat emiten kecil memilih untuk delisting dari bursa.

Alvin Bagaskara
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyiapkan kebijakan baru yang berpotensi mengubah peta kepemilikan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI). OJK berencana menaikkan batas minimum saham publik (free float) secara bertahap, dari 7,5% menjadi 10% dalam waktu dekat.
Rencana ini bahkan tidak berhenti di 10%. OJK dikabarkan menargetkan kenaikan porsi saham free float hingga mencapai 25% dalam jangka panjang. Langkah ini dinilai akan berdampak signifikan bagi ratusan emiten di bursa.
Kebijakan ini diyakini memiliki dua sisi mata uang. Di satu sisi, langkah ini positif untuk menarik investor global dan menekan manipulasi pasar. Di sisi lain, analis memperingatkan adanya risiko emiten kecil yang akan memilih keluar dari bursa (delisting).
- Baca Juga: Eks Pemimpin Bangladesh Divonis Hukuman Mati
1. Urgensi Kenaikan Aturan Free Float
Aturan free float yang berlaku saat ini (Peraturan I-A) mewajibkan emiten memiliki 50 juta saham dan 7,5% saham beredar di publik. Namun, kepatuhan masih menjadi masalah. Data per Oktober 2025 menunjukkan sekitar 38 emiten masih disuspensi BEI karena tidak memenuhi ketentuan 7,5% tersebut.
Kenaikan batas minimum ini akan memaksa lebih banyak perusahaan untuk memperbaiki struktur kepemilikan saham. Tujuannya adalah untuk meningkatkan likuiditas dan kualitas pasar modal Indonesia secara keseluruhan.
2. Sisi Positif: Menarik Investor Global (MSCI)
Head of Investment Information Mirae Asset Sekuritas, Martha Christina, menilai kebijakan ini berdampak bagus. Indonesia dinilai masih tertinggal dari negara tetangga. "Indonesia masih memiliki banyak perusahaan dengan free float di bawah 10%," ujarnya, Senin, 17 November 2025.
Berdasarkan data Bloomberg, terdapat 130 perusahaan di BEI dengan free float kurang dari 10%. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan Vietnam (5,10%) dan Thailand (1,28%) yang emitennya jauh lebih likuid.
Peningkatan free float juga akan memperbesar peluang saham-saham Indonesia masuk dalam indeks global bergengsi seperti MSCI. "Jadi dengan 10% ini ya sebenarnya kita sedang menuju supaya Bursa kita lebih banyak emiten-emitennya dilirik pasar global,” kata Martha.
3. Sisi Negatif: Risiko Emiten 'Menyerah' dan Delisting
Meski demikian, Martha menilai penerapan aturan baru tidak akan mudah bagi seluruh perusahaan. Emiten dengan likuiditas rendah dinilai akan menghadapi tantangan lebih besar dalam menarik investor baru untuk menyerap saham tambahan.
Ia bahkan memperingatkan risiko jika target jangka panjang OJK (25%) benar-benar diterapkan. Menurutnya, sejumlah emiten dapat mempertimbangkan untuk keluar dari bursa jika aturan tersebut dinilai terlalu berat untuk dipenuhi.
“Tapi ya kalau targetnya sampai 25%, berarti kan emiten juga harus berpikir… jadi ya mendingan delisting aja, lebih gampang,” kata Martha.
4. Sisi Lain: Mempersempit Ruang 'Saham Gorengan'
Selain menarik investor global, kebijakan ini dinilai memiliki tujuan lain, yaitu menekan praktik manipulasi pasar. Pengamat pasar modal Reydi Octa menilai kebijakan peningkatan free float dapat mempersempit ruang gerak saham 'gorengan'.
Dengan jumlah saham yang beredar di publik lebih banyak, dibutuhkan modal yang jauh lebih besar untuk menggerakkan harga. "Kenaikan free float bisa mempersempit manuver saham gorengan karena harga jadi lebih sulit dimanipulasi,” ujarnya.

Alvin Bagaskara
Editor
