AS Ambil Alih 10% Saham Intel, Pasar Justru Respon Negatif
- AS resmi beli 9,9% saham Intel senilai US$8,9 miliar. Langkah strategis Trump ini menuai pro-kontra di pasar dan industri chip global.

Muhammad Imam Hatami
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID - Pemerintah Amerika Serikat resmi mengumumkan pembelian hampir 10% saham raksasa semikonduktor Intel Corp, langkah yang disebut sebagai bagian dari strategi menjaga kedaulatan industri chip nasional.
Berdasarkan laporan resmi, pemerintahan Donald Trump membeli 433,3 juta lembar saham Intel atau setara 9,9% kepemilikan, dengan nilai transaksi mencapai US$8,9 miliar. Harga per saham dipatok US$20,47, sekitar US$4 lebih rendah dibanding harga penutupan terakhir di bursa Wall Street (US$24,80).
Sebagian besar dana untuk pembelian saham tersebut berasal dari hibah CHIPS Act senilai US$5,7 miliar, sementara sisanya US$3,2 miliar diambil dari program keamanan siber Secure Enclave.
Langkah ini menuai sorotan karena nominal investasi hampir setara dengan dana hibah yang sebelumnya memang dialokasikan untuk pembangunan pabrik chip Intel di dalam negeri.
Baca juga : Indonesia Bisa Jadi Magnet Investor Kripto Dunia karena Regulasi Terunggul di Asia Tenggara
Dampak Pasar
Alih-alih positif, pengumuman itu justru direspons negatif oleh pasar. Saham Intel turun 1,2% pada perdagangan setelah jam bursa. Investor menilai intervensi pemerintah tidak serta-merta menjawab persoalan fundamental yang tengah membelit perusahaan.
Presiden Donald Trump diketahui bertemu langsung dengan CEO Intel, Lip-Bu Tan, sebelum kesepakatan diumumkan. Pertemuan ini menarik perhatian publik karena Trump sebelumnya sempat mendesak Lip-Bu Tan mundur akibat dugaan keterkaitannya dengan China. Meski begitu, Trump mengklaim akuisisi ini sebagai “kemenangan besar” bagi ekonomi Amerika.
“Dia datang ingin mempertahankan pekerjaannya, tapi akhirnya memberikan kita US$10 miliar untuk Amerika Serikat. Jadi kita dapat US$10 miliar,” ungkap Trump, kala memberikan keterangan kepada awak media, dikutip laman New
Akuisisi Intel hanyalah satu bagian dari rangkaian intervensi ekonomi yang digagas Gedung Putih. Sebelumnya, pemerintahan Trump meneken kesepakatan dengan Nvidia, yang membatasi penjualan chip AI H20 ke China sebesar 15%. Pentagon juga dikabarkan tengah menyiapkan langkah serupa dengan mengambil saham di tambang mineral kecil demi mengamankan pasokan magnet tanah jarang.
Baca juga : Indonesia Bisa Jadi Magnet Investor Kripto Dunia karena Regulasi Terunggul di Asia Tenggara
Tantangan Berat Intel
Terlepas dari dukungan pemerintah, kondisi Intel masih jauh dari kata aman. Perusahaan ini mencatat kerugian hingga US$18,8 miliar sepanjang 2024, kerugian pertama sejak 1986. Penyebab utamanya adalah peta jalan produk yang lemah serta kesulitan menarik pelanggan ke lini bisnis foundry.
Suntikan modal dari pemerintah maupun SoftBank yang sebelumnya membeli 2 miliar saham Intel, dinilai analis belum cukup untuk memperbaiki masalah fundamental. Hal ini membuat posisi Lip-Bu Tan sebagai CEO semakin tertekan, dengan ekspektasi besar agar mampu membalikkan kinerja perusahaan di tengah persaingan ketat global.
Lewat langkah ini, AS tidak hanya menjadi pemegang saham besar Intel, tetapi juga semakin mempertegas strategi intervensi langsung dalam sektor-sektor strategis. Namun, efektivitas kebijakan ini dalam jangka panjang masih menimbulkan tanda tanya besar, baik bagi investor maupun industri semikonduktor dunia.

Muhammad Imam Hatami
Editor
